Wednesday 9 August 2017

Forex dalam islam mui


BeBisnis lah - Sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia alias MUI (kependekannya) adalah wadah atau majelis para ulama, zuama dan cendikiawan muslim indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah umat islam indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Berdiri pada tanggal 7 rajab 1395 H, yang bertepatan dengan tanggal 26 juli 1975 M di jakarta. MUI ini bisa dibilang sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya) dan yang memegang peranan penting bagi pemerintah Indonesia, yang selalu berusaha memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT, memberikan saran dan fatwa mengenai Masalah beragama dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat Indonesia. Fatwa MUI tentang Perdagangan Forex atau Fatwa MUI tentang Perdagangan Valas Fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia No: 28DSN-MUI. III2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Dalam kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, jual beli barang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun berlainan jenis. B. Cerita dalam urf tijari. Terjemahan bentuk islam berbeda antar satu bentuk dengan bentuk lainnya. C. Cerita agar kegiatan yang dilakukan sesuai dengan ajaran islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah QS. Al Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . 2. Hadits Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak). (HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan nilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tarmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi saw bersabda: Jual lah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma Dan garam dengan garam dengan syarat harus sama dan sejenisnya. Jika jenisnya berbeda, jual lah sekehendakmu jika dilakukan dengan tunai. 4. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tarmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s. a.w bersabda: Jual beli emas dengan perak adalah riba kecuali dilakukan secara tunai. 5. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi saw bersabda: Janganlah kamu menjual emas emas sama sama (tidak) dan janganlah naik sebagian atas yang lain Janganlah menjual perak dengan perak yang sama (yang) Yang lain dan janganlah menjual emas dan perak ini yang tidak tunai dengan tunai. 6. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam: Rasulullah saw. Melihat jual beli perak dengan emas (tidak tunai). 7. Hadits Nabi riwayat Tarmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan dengan kaum muslimin, kecuali ketentuan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka inginkan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma, Ulama sebutkan (ijma) yang akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu. 1. Surat dari pimpinan Unit Usaha Syariah Bank BNI no. USS2878 2. Pendapat peserta rapat pleno Dewan Syariah Nasional pada hari kamis, tanggal 14 Muharram 1423 H 24 Maret 2002 Dewan Syariah Nasional menetapkan: Fatwa Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) Pertama: Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh Dengan sebutan sebagi berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan) 2. Ada yang perlu atau untuk berjaga-jaga (simpanan) 3. Bila transaksi dilakukan dengan mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh) 4 . Bila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar yang berlaku pada tanggal transaksi. Valuta Asing 1. Transaksi SPOT yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) Atau penyelesaiannya paling lambat dala jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah agar karena hal tersebut, karena waktu yang akan datang, antara 2 x 24 Jam sampai satu tahun Hukumnya adalah haram, karena harga yang dipakai adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, harga pada saat penyerahan itu belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk perjanjian foward untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari Lil hajah) 3. Transaksi SWAP suatu cara jual beli valas dengan harga antara penjual valas yang sama dengan harga foward. Hukumnya haram karena mengandung unsur maisir (spekulasi) 4. Transaksi OPSI yaitu. Untuk dijual yang tidak boleh dilakukan atas jumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal tertentu. Hukumnya haram karena mengandung unsur maisir (spekulasi) Ketiga: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata ada kekeliuran, akan diubah dan disempurnakan mestinya. Ditetapkan di: Jakarata Tanggal: 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia Oke, syarat dan lengkapnya Fatwa MUI tentang Trading Forex. Semoga bisa diambil pelajaran, bisa dijadikan referensi, semua keraguan hilang dan happy trading. Terimakasih, salam profit dan salam sukses buat semuanya. Hukum Trading Forex Menurut MUI Halal atau Haram Mengingat banyaknya yang mempertanyakan apa hukum trading forex menurutIslam (sudah banyak dikupas) maka berikut ini saya publikasikan artikel dari Gainscope tentang FATWA MUI TENTANG TRADING FOREX. Di luar sana berkembang juga pendapat yang bersebarangan dengan fatwa MUI ini di mana mereka tetap berpendirian pada forex trading adalah HARAM dengan hujjahargumen yang mereka pegangi. Keputusan berpulang pada dan ada di tangan Anda. Selamat membaca Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh setiap trader di indonesia: 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita Bahas dengan artikel yang pertama: Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh Forex (Perdagangan Valas) yang membolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya barang barang kebutuhankomoditi antar negara yang sedang internasional. Perdagangan (ekspor-impor) ini tentu membutuhkan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara memiliki ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan dari negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Uang tambahan antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang merupakan internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang satu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran yang sedang. Yang benar-benar nyata tukar-menukar mata uang yang berbeda. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- gt Ada perjanjian untuk menerima dan menerima Penjual. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual memiliki wewenang penuh pelaksanaan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: barang barangnya (bukan najis) dapat dimanfaatkan dapat diserahterimakan barang dan mahal Dijual oleh pemiliknya sendiri Atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Muhammad Isa, ada jual beli itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan di udara, karena sebenarnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Jika tidak sesuai maka pembeli memiliki hak khiyar, tentu saja boleh atau jual beli belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang sesuatu yang tidak dapat dilihat, maka ia berhak khiyar jika telah melihat. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: 8220Kesulitan itu menarik kemudahan.8221 Demikian juga jual beli barang barang yang sudah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isi. Vide Sabiq, op. Cit. Hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Bila antara negara terjadi perdagangan internasional maka setiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir indonesia akan menghasilkan devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir indonesia membutuhkan devisa untuk menarik dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. Setiap negara penuh dengan kurs rupiah masing-masing (kurs adalah perbandingan uangnya); 1 dollar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs dan transaksi jual beli valuta asing di Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG VALAS PERDAGANGAN Fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia No: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Dalam kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, diperlukan. Barang, baik antar mata uang maupun antar mata uang berlainan jenis. B. Cerita dalam urf tijari. Hukum islam islam is offline is offline C. Cerita agar kegiatan yang dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR albaihaqi dan Ibnu Majah, dan nilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi saw bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma Dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenisnya. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi saw bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah Riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi saw bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilai) dan janganlah tambah sebagian atas yang lain janganlah menjual perak dengan perak sama sama (nilai) dan janganlah menambahkan sebagaian Atas yang lain dan janganlah menjual emas dan perak ini yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah melihat uang tunai menjual perak dengan emas (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali ketentuan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka baik syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sebutkan (ijma) yang akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Bila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Bila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah bisa, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari yang dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dipertahankan dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang dinilai pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang dipakai adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, harga pada saat penyerahan itu belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dalam bentuk kesepakatan kedepan untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil Hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan penjualan antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPSI yaitu. Untuk dijual yang tidak boleh dilakukan atas harga dan jangka waktu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata ada kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIA Tulisan lain yang menguatkan adalah amenity yang ditulis oleh Dr. Mohammed Obaidullah di bawah ini tentang ISLAM FOREX TRADING. 1. Kontrak Pertukaran Dasar Ada konsensus umum di antara para ahli hukum Islam dengan pandangan bahwa mata uang dari berbagai negara dapat dipertukarkan secara spot pada tingkat yang berbeda dari persatuan, karena mata uang dari berbagai negara adalah entitas yang berbeda dengan nilai atau nilai intrinsik yang berbeda. , Dan daya beli. Tampaknya juga ada kesepakatan umum di antara mayoritas ulama mengenai pandangan bahwa pertukaran mata uang secara forward tidak diperbolehkan, yaitu ketika hak dan kewajiban kedua belah pihak terkait dengan masa depan. Namun, ada perbedaan pendapat antara para ahli hukum saat hak salah satu pihak, yang sama dengan kewajiban counterparty, ditangguhkan untuk masa depan. Untuk menguraikan, mari kita simak contoh dua individu A dan B yang termasuk dalam dua negara yang berbeda, India dan AS masing-masing. A bermaksud untuk menjual rupee India dan membeli dolar A. S. Kebalikannya berlaku untuk B. Nilai tukar rupee-dollar yang disepakati adalah 1:20 dan transaksi tersebut melibatkan pembelian dan penjualan 50. Situasi pertama adalah bahwa A melakukan pembayaran spot Rs1000 ke B dan menerima pembayaran sebesar 50 dari B Transaksi diselesaikan secara spot dari kedua ujungnya. Transaksi semacam itu berlaku dan diperbolehkan secara Islami. Tidak ada dua pendapat tentang hal yang sama. Kemungkinan kedua adalah penyelesaian transaksi dari kedua ujungnya ditangguhkan ke masa depan, katakan setelah enam bulan dari sekarang. Ini menyiratkan bahwa baik A dan B akan membuat dan menerima pembayaran Rs1000 atau 50, seperti kasusnya, setelah enam bulan. Pandangan yang dominan adalah bahwa kontrak semacam itu tidak diperbolehkan secara Islami. Pandangan minoritas menganggapnya diperbolehkan. Skenario ketiga adalah transaksi sebagian diselesaikan dari satu akhir saja. Sebagai contoh, A membuat pembayaran Rs1000 sekarang ke B sebagai pengganti janji oleh B untuk membayar 50 kepadanya setelah enam bulan. Sebagai alternatif, A menerima 50 sekarang dari B dan berjanji untuk membayar Rs1000 kepadanya setelah enam bulan. Ada pandangan yang berlawanan secara diam-diam mengenai diperbolehkannya kontrak semacam itu yang berarti bai-salam dalam mata uang. Tujuan makalah ini adalah untuk menyajikan analisis komprehensif berbagai argumen untuk mendukung dan melawan diperbolehkannya kontrak dasar yang melibatkan mata uang. Bentuk kontrak pertama yang melibatkan pertukaran nilai tukar pada basis spot melampaui kontroversi apapun. Izin atau jenis kontrak kedua di mana pengiriman salah satu nilai taksiran ditangguhkan ke masa depan, umumnya dibahas dalam kerangka larangan riba. Dengan demikian kita membahas kontrak ini secara rinci di bagian 2 yang membahas masalah larangan riba. Permissibility dari bentuk kontrak ketiga dimana penyampaian kedua pertimbangan tersebut ditangguhkan, umumnya dibahas dalam kerangka pengurangan risiko dan ketidakpastian atau gharar yang terlibat dalam kontrak semacam itu. Ini, oleh karena itu, adalah tema sentral dari bagian 3 yang membahas masalah gharar. Bagian 4 mencoba pandangan holistik tentang Syariah yang menghubungkan isu-isu dan juga signifikansi ekonomi dari bentuk dasar kontrak di pasar mata uang. 2. Isu Larangan Riba Perbedaan penentuan pandangan1 mengenai diperbolehkannya atau tidaknya kontrak pertukaran dalam mata uang dapat ditelusuri terutama dengan masalah larangan riba. Kebutuhan untuk menghilangkan riba dalam segala bentuk kontrak pertukaran sangat penting. Riba dalam konteks Syariah umumnya didefinisikan sebagai keuntungan yang tidak sah yang berasal dari ketidaksetaraan kuantitatif dari nilai-nilai perhitungan dalam transaksi yang mengandung efek pertukaran dua atau lebih spesies (anwa), yang termasuk dalam genus (jins) yang sama dan diatur oleh Sebab efisien yang sama (illa). Riba umumnya diklasifikasikan ke dalam riba al-fadl (kelebihan) dan riba al-nasia (penangguhan) yang menunjukkan keuntungan yang tidak sah dengan cara kelebihan atau penangguhan masing-masing. Larangan yang pertama dicapai dengan ketentuan bahwa tingkat pertukaran antara objek adalah satu kesatuan dan tidak ada keuntungan yang diperbolehkan bagi salah satu pihak. Jenis riba yang terakhir dilarang dengan melarang penyelesaian tangguhan dan memastikan bahwa transaksi diselesaikan secara langsung oleh kedua belah pihak. Bentuk riba lainnya disebut riba al-jahiliyya atau riba pra-Islam yang muncul saat pemberi pinjaman meminta peminjam pada tanggal jatuh tempo jika yang terakhir akan menyelesaikan hutang atau meningkatkan jumlah yang sama. Kenaikan tersebut disertai dengan pengisian bunga atas jumlah yang semula dipinjam. Larangan riba dalam pertukaran mata uang milik negara yang berbeda memerlukan proses analogi (qiyas). Dan dalam latihan apapun yang melibatkan analogi (qiyas), penyebab efisien (illa) memainkan peran yang sangat penting. Ini adalah penyebab efisien umum (illa), yang menghubungkan objek analogi dengan subjeknya, dalam pelaksanaan penalaran analogis. Penyebab efisien yang tepat (illa) dalam kasus kontrak pertukaran telah didefinisikan secara beragam oleh sekolah dasar Fiqih. Perbedaan ini tercermin dalam penalaran analog untuk mata uang kertas milik negara yang berbeda. Sebuah pertanyaan yang cukup penting dalam proses penalaran analog berkaitan dengan perbandingan antara mata uang kertas dengan emas dan perak. Pada masa awal Islam, emas dan perak melakukan semua fungsi uang (thaman). Mata uang terbuat dari emas dan perak dengan nilai intrinsik yang diketahui (kuantum emas atau perak yang terkandung di dalamnya). Mata uang semacam itu digambarkan sebagai thaman haqiqi, atau naqdain dalam literatur Fiqh. Ini dapat diterima secara universal sebagai alat tukar utama, yang memperhitungkan sebagian besar transaksi. Banyak komoditas lain, seperti, berbagai logam inferior juga berfungsi sebagai alat tukar, namun dengan akseptabilitas terbatas. Ini digambarkan sebagai fals dalam literatur Fiqih. Ini juga dikenal sebagai thaman istalahi karena fakta bahwa akseptabilitas mereka berasal bukan dari nilai intrinsiknya, namun karena status yang diberikan oleh masyarakat selama periode waktu tertentu. Dua bentuk mata uang di atas telah diperlakukan sangat berbeda oleh para ahli hukum Islam awal dari sudut pandang diperbolehkannya kontrak yang melibatkan mereka. Masalah yang perlu dipecahkan adalah apakah mata uang kertas usia sekarang termasuk dalam kategori sebelumnya atau yang terakhir. Satu pandangan adalah bahwa ini harus diperlakukan setara dengan thaman haqiqi atau emas dan perak, karena ini berfungsi sebagai sarana utama pertukaran dan unit akun seperti yang terakhir. Oleh karena itu, dengan penalaran yang sama, semua norma dan perintah terkait Syariah yang berlaku untuk haqqi thaman juga harus berlaku untuk mata uang kertas. Pertukaran thaman haqiqi dikenal dengan sebutan bai-sarf, dan karenanya, transaksi dalam mata uang kertas harus diatur oleh peraturan Syariah yang relevan untuk bai sarf. Pandangan sebaliknya menegaskan bahwa mata uang kertas harus diperlakukan dengan cara yang mirip dengan fals atau thaman istalahi karena fakta bahwa nilai nominalnya berbeda dari nilai intrinsiknya. Akseptabilitas mereka berasal dari status hukum mereka di dalam negeri atau kepentingan ekonomi global (seperti dalam kasus dolar AS, misalnya). 2.1. Sintesis Tampilan Alternatif 2.1.1. Penalaran Analogis (Qiyas) untuk Larangan Riba Larangan riba didasarkan pada tradisi yang dikatakan oleh nabi suci (saw): Menjual emas untuk emas, perak untuk perak, gandum untuk gandum, jelai untuk jelai, tanggal untuk tanggal, Garam untuk garam, dalam jumlah yang sama di tempat dan kapan komoditi itu berbeda, jual sesuai dengan Anda, tapi di tempat. Dengan demikian, larangan riba berlaku terutama untuk dua logam mulia (emas dan perak) dan empat komoditas lainnya (gandum, jelai, kurma dan garam). Ini juga berlaku, dengan analogi (qiyas) untuk semua spesies yang diatur oleh penyebab efisien (illa) yang sama atau yang termasuk salah satu genera dari enam objek yang disebutkan dalam tradisi tersebut. Namun, tidak ada kesepakatan umum di antara berbagai sekolah Fiqh dan bahkan ilmuwan yang tergabung dalam sekolah yang sama mengenai definisi dan identifikasi penyebab efisien (illa) riba. Bagi Hanafis, penyebab efisien (illa) riba memiliki dua dimensi: artikel yang dipertukarkan termasuk genus (jins) yang sama memiliki bobot (wazan) atau kemampuan terukur (kiliyya). Jika dalam pertukaran tertentu, kedua unsur penyebab efisien (illa) ada, yaitu nilai tukar yang dipertukarkan termasuk genus (jins) yang sama dan semuanya dapat diukur atau semua dapat diukur, maka tidak ada keuntungan yang diperbolehkan (nilai tukar harus Sama dengan persatuan) dan pertukaran harus dilakukan secara langsung. Dalam kasus emas dan perak, dua unsur penyebab efisien (illa) adalah: kesatuan genus (jins) dan bobot. Ini juga tampilan Hanbali menurut satu versi3. (Versi yang berbeda mirip dengan pandangan Shafii dan Maliki, seperti yang dibahas di bawah ini.) Jadi, ketika emas dipertukarkan dengan emas, atau perak dipertukarkan dengan perak, hanya spot transaksi tanpa keuntungan yang diperbolehkan. Ada kemungkinan juga bahwa dalam pertukaran tertentu, salah satu dari dua unsur penyebab efisien (illa) hadir dan yang lainnya tidak ada. Misalnya, jika artikel yang dipertukarkan semuanya dapat ditimbang atau terukur namun termasuk dalam genus (jins) yang berbeda atau jika artikel yang dipertukarkan sama dengan genus (jins) yang sama tetapi tidak dapat ditimbang atau diukur, maka pertukaran dengan keuntungan (pada tingkat yang berbeda dari Persatuan) diperbolehkan, tapi pertukaran harus dilakukan secara langsung. Jadi, ketika emas dipertukarkan dengan perak, tarifnya bisa berbeda dari satu kesatuan tapi tidak ada penyelesaian yang ditangguhkan yang diperbolehkan. Jika tidak satu pun dari dua elemen penyebab efisien (illa) riba hadir dalam pertukaran yang diberikan, maka tidak ada larangan untuk larangan riba berlaku. Pertukaran dapat dilakukan dengan atau tanpa keuntungan dan keduanya berdasarkan tempat atau penundaan. Mengingat kasus pertukaran yang melibatkan mata uang kertas milik negara yang berbeda, larangan riba akan memerlukan pencarian penyebab efisien (illa). Mata uang yang termasuk dalam berbagai negara jelas merupakan entitas yang berbeda. Ini adalah tender legal dalam batas geografis tertentu dengan nilai intrinsik atau daya beli yang berbeda. Oleh karena itu, sebagian besar ilmuwan mungkin dengan tepat menegaskan bahwa tidak ada kesatuan genus (jins). Selain itu, ini tidak dapat ditimbang atau tidak terukur. Hal ini mengarah pada kesimpulan langsung bahwa tidak satu pun dari dua unsur penyebab efisien (illa) riba ada dalam pertukaran tersebut. Oleh karena itu, pertukaran dapat berlangsung bebas dari perintah apapun mengenai tingkat pertukaran dan cara penyelesaiannya. Logika yang mendasari posisi ini tidak sulit untuk dipahami. Nilai intrinsik mata uang kertas yang termasuk dalam berbagai negara berbeda karena memiliki daya beli yang berbeda. Selain itu, nilai intrinsik atau nilai mata uang kertas tidak dapat diidentifikasi atau dinilai tidak seperti emas dan perak yang dapat ditimbang. Oleh karena itu, tidak ada kehadiran riba al-fadl (secara berlebihan), atau riba al-nasia (dengan penundaan) dapat ditetapkan. Sekolah Fiqih Shafii menganggap penyebab efisien (illa) dalam hal emas dan perak menjadi milik mereka sebagai mata uang (thamaniyya) atau media pertukaran, unit rekening dan nilai penyimpanan. Ini juga tampilan Maliki. Menurut salah satu versi pandangan ini, bahkan jika kertas atau kulit dijadikan media pertukaran dan diberi status mata uang, maka semua peraturan yang berkaitan dengan naqdain, atau emas dan perak berlaku untuk mereka. Jadi, menurut versi ini, pertukaran yang melibatkan mata uang dari berbagai negara pada tingkat yang berbeda dari persatuan diperbolehkan, namun harus diselesaikan secara spot. Versi lain dari dua mazhab pemikiran di atas adalah bahwa penyebab efisien (illa) yang dikutip di atas adalah mata uang (thamaniyya) khusus untuk emas dan perak, dan tidak dapat digeneralisasikan. Artinya, objek lain, jika digunakan sebagai alat tukar, tidak bisa masuk dalam kategori mereka. Oleh karena itu, menurut versi ini, perintah Syariah untuk larangan riba tidak berlaku untuk mata uang kertas. Mata uang yang termasuk dalam berbagai negara dapat dipertukarkan dengan atau tanpa keuntungan dan keduanya berada pada basis spot atau tanggungan. Pendukung versi sebelumnya mengutip kasus pertukaran mata uang kertas milik negara yang sama dalam mempertahankan versi mereka. Pendapat konsensus para ahli hukum dalam kasus ini adalah bahwa pertukaran semacam itu harus tanpa keuntungan atau pada tingkat yang sama dengan persatuan dan harus diselesaikan secara spot. Apa alasan yang mendasari keputusan di atas Jika orang mempertimbangkan Hanafi dan versi pertama dari posisi Hanbali maka, dalam kasus ini, hanya satu dimensi penyebab efisien (illa) yang ada, yaitu genus yang sama (jin ). Tapi mata uang kertas tidak menimbang atau tidak terukur. Oleh karena itu, hukum Hanafi tampaknya akan mengizinkan pertukaran sejumlah mata uang yang berbeda secara spot. Demikian pula jika penyebab efisien menjadi mata uang (thamaniyya) hanya khusus untuk emas dan perak, hukum Shafii dan Maliki juga akan mengizinkan hal yang sama. Tak perlu dikatakan, jumlah ini memungkinkan pinjaman dan pinjaman berbasis riba. Ini menunjukkan bahwa, ini adalah versi pertama pemikiran Shafii dan Maliki yang mendasari keputusan konsensus mengenai larangan mendapatkan keuntungan dan penyelesaian yang ditangguhkan jika terjadi pertukaran mata uang milik negara yang sama. Menurut para pendukungnya, memperluas logika ini untuk pertukaran mata uang dari berbagai negara akan menyiratkan bahwa pertukaran dengan keuntungan atau pada tingkat yang berbeda dari persatuan diperbolehkan (karena tidak ada kesatuan jins), namun penyelesaian harus dilakukan secara langsung. 2.1.2 Perbandingan antara Pertukaran Mata Uang dan Bai-Sarf Bai-sarf didefinisikan dalam literatur Fiqh sebagai pertukaran yang melibatkan thaman haqiqi, yang didefinisikan sebagai emas dan perak, yang berfungsi sebagai media utama pertukaran untuk hampir semua transaksi besar. Pendukung pandangan bahwa setiap pertukaran mata uang dari berbagai negara sama dengan bai-sarf berpendapat bahwa pada mata uang kertas usia sekarang telah secara efektif dan sepenuhnya menggantikan emas dan perak sebagai media pertukaran. Oleh karena itu, secara analogi, pertukaran yang melibatkan mata uang semacam itu harus diatur oleh peraturan dan perintah Syariah yang sama dengan bai sarf. Hal ini juga berpendapat bahwa jika penyelesaian yang ditangguhkan oleh salah satu pihak terhadap kontrak diizinkan, ini akan membuka kemungkinan riba-al nasia. Penentang kategorisasi pertukaran mata uang dengan bai-sarf namun menunjukkan bahwa pertukaran semua bentuk mata uang (thaman) tidak dapat disebut sebagai bai-sarf. Menurut pandangan ini bai-sarf menyiratkan pertukaran mata uang yang terbuat dari emas dan perak (thaman haqiqi atau naqdain) saja dan bukan uang yang diucapkan seperti oleh otoritas negara (thaman istalahi). Mata uang masa kini adalah contoh jenis yang terakhir. Para ilmuwan ini menemukan dukungan dalam tulisan-tulisan yang menegaskan bahwa jika komoditas pertukaran bukan emas atau perak, (bahkan jika salah satunya adalah emas atau perak) maka pertukaran tidak dapat disebut sebagai bai-sarf. Ketentuan tentang bai sarf juga tidak berlaku untuk pertukaran semacam itu. Menurut Imam Sarakhsi4 ketika seseorang membeli barang palsu atau uang logam yang terbuat dari logam inferior, seperti tembaga (thaman istalahi) untuk dirham (thaman haqiqi) dan melakukan pembayaran di tempat terakhir, namun penjualnya tidak mengalami kerusakan pada saat itu. , Maka pertukaran tersebut diperbolehkan. Mengambil barang-barang yang dipertukarkan oleh kedua belah pihak bukanlah prasyarat (walaupun dalam kasus bai-sarf, itu adalah.) Sejumlah referensi serupa ada yang mengindikasikan bahwa para ahli hukum tidak mengklasifikasikan suatu pertukaran fals (thaman istalahi) untuk kesalahan lain ( Thaman istalahi) atau emas atau perak (thaman haqiqi), seperti bai-sarf. Makanya, pertukaran mata uang dari dua negara berbeda yang hanya bisa lolos sebagai thaman istalahi tidak dapat dikategorikan sebagai bai-sarf. Juga kendala tentang penyelesaian spot harus dilakukan pada transaksi semacam itu. Perlu dicatat di sini bahwa definisi bai sarf disediakan literatur Fiqh dan tidak disebutkan sama dalam tradisi suci. Tradisi menyebutkan tentang riba, dan penjualan dan pembelian emas dan perak (naqdain) yang mungkin merupakan sumber utama riba, digambarkan sebagai bai sarf oleh ahli hukum Islam. Perlu juga dicatat bahwa dalam literatur Fiqih, bai-sarf menyiratkan pertukaran emas atau perak hanya apakah ini saat ini digunakan sebagai alat tukar atau tidak. Pertukaran yang melibatkan dinar dan hiasan emas, keduanya berkualitas seperti bai-sarf. Berbagai ahli hukum telah berusaha untuk mengklarifikasi hal ini dan telah menetapkan sarf sebagai pertukaran di mana kedua komoditas tersebut dipertukarkan berada dalam sifat thaman, tidak harus dengan sendirinya. Makanya, meski salah satu komoditas olahan emas (katakanlah, hiasan), pertukaran seperti itu disebut bai-sarf. Pendukung pandangan bahwa pertukaran mata uang harus diperlakukan dengan cara yang mirip dengan bai sarf juga mendapatkan dukungan dari tulisan-tulisan ahli hukum Islam terkemuka. Menurut Imam Ibnu Taimiya apapun yang melakukan fungsi media tukar, unit of account, dan store of value disebut thaman, (tidak harus terbatas pada emas amp silver). Referensi serupa tersedia dalam tulisan-tulisan Imam Ghazzali5 Sejauh pandangan Imam Sarakhshi mengenai pertukaran yang melibatkan fals, menurut beberapa hal tambahan perlu diperhatikan. Pada masa awal Islam, dinar dan dirham terbuat dari emas dan perak banyak digunakan sebagai alat tukar dalam semua transaksi besar. Hanya yang kecil yang diliputi oleh fals. Dengan kata lain, fals tidak memiliki karakteristik uang atau thamaniyya secara penuh dan hampir tidak digunakan sebagai penyimpan nilai atau unit of account dan lebih pada sifat komoditi. Oleh karena itu tidak ada batasan pembelian yang sama untuk emas dan perak dengan dasar yang ditangguhkan. Mata uang hari ini memiliki semua fitur thaman dan dimaksudkan untuk menjadi thaman saja. Pertukaran yang melibatkan mata uang dari berbagai negara sama dengan bai-sarf dengan selisih jins dan karenanya, penyelesaian yang ditangguhkan akan mengarah pada riba al-nasia. Dr Mohamed Nejatullah Siddiqui menggambarkan kemungkinan ini dengan sebuah contoh6. Dia menulis Pada saat tertentu ketika kurs pasar antara dolar dan rupee adalah 1:20, jika seseorang melakukan pembelian 50 pada tingkat 1:22 (penyelesaian kewajibannya dalam rupee yang ditangguhkan ke masa depan), maka Sangat mungkin dia. Sebenarnya, meminjam Rs. 1000 sekarang sebagai pengganti janji untuk membayar Rs. 1100 pada tanggal yang ditentukan nanti. (Karena, dia bisa mendapatkan Rs 1000 sekarang, bertukar 50 beli secara kredit dengan harga spot) Dengan demikian, sarf dapat dikonversi menjadi pinjaman pinjaman berbasis bunga. 2.1.3 Mendefinisikan Thamaniyya adalah Kunci Itu muncul dari sintesis pandangan alternatif di atas bahwa isu kunci tampaknya merupakan definisi yang benar tentang thamaniyya. Sebagai contoh, sebuah pertanyaan mendasar yang mengarah pada posisi yang berbeda mengenai permisabilitas berhubungan dengan apakah thamaniyya spesifik untuk emas dan perak, atau dapat dikaitkan dengan apapun yang melakukan fungsi uang. Kami mengangkat beberapa masalah di bawah ini yang dapat dipertimbangkan dalam latihan apapun untuk mempertimbangkan kembali posisi alternatif. Harus diapresiasi bahwa thamaniyya mungkin tidak mutlak dan bisa berbeda derajatnya. Memang benar bahwa mata uang kertas telah sepenuhnya menggantikan emas dan perak sebagai alat tukar, unit akun dan nilai jual. Dalam pengertian ini, mata uang kertas bisa dikatakan memiliki thamaniyya. Namun, ini benar untuk mata uang domestik saja dan mungkin tidak berlaku untuk mata uang asing. Dengan kata lain, rupee India memiliki thamaniyya di dalam batas-batas geografis India saja, dan tidak memiliki akseptabilitas di AS. Ini tidak dapat dikatakan memiliki thamaniyya di AS kecuali jika warga AS dapat menggunakan rupee India sebagai media pertukaran, atau unit akun, atau penyimpanan nilai. Dalam kebanyakan kasus, kemungkinan semacam itu jauh. Kemungkinan ini juga merupakan fungsi dari mekanisme nilai tukar di tempat, seperti, konvertibilitas rupee India menjadi dolar AS, dan apakah sistem nilai tukar tetap atau mengambang berada pada tempatnya. Misalnya, dengan asumsi konvertibilitas bebas rupee India menjadi dolar AS dan sebaliknya, dan sistem nilai tukar tetap di mana nilai tukar dolar rupee diperkirakan tidak akan meningkat atau menurun di masa yang akan datang, thamaniyya rupee di AS meningkat dengan baik. . Contoh yang dikutip oleh Dr Nejatullah Siddiqui juga tampil cukup kuat dalam situasi seperti ini. Izin untuk menukar rupee untuk dolar dengan dasar yang ditangguhkan (dari satu sisi, tentu saja) pada tingkat yang berbeda dengan kurs spot (tingkat resmi yang kemungkinan akan tetap tetap sampai tanggal penyelesaian) akan menjadi kasus yang jelas berdasarkan minat Pinjaman dan pinjaman. Namun, jika asumsi nilai tukar tetap rileks dan sistem nilai tukar yang fluktuatif dan volatil saat ini diasumsikan, maka dapat ditunjukkan bahwa kasus riba al-nasia rusak. Kami menulis ulang teladannya: Pada saat tertentu ketika kurs pasar antara dolar dan rupee adalah 1:20, jika seseorang membeli 50 pada tingkat 1:22 (penyelesaian kewajibannya dalam rupee yang ditangguhkan ke masa depan ), Maka sangat mungkin dia. Sebenarnya, meminjam Rs. 1000 sekarang sebagai pengganti janji untuk membayar Rs. 1100 pada tanggal yang ditentukan nanti. (Karena, dia bisa mendapatkan Rs 1000 sekarang, bertukar 50 kredit yang dibeli dengan harga spot) Ini akan sangat, hanya jika risiko mata uang tidak ada (nilai tukar tetap pada 1:20), atau ditanggung oleh penjual Dari dolar (pembeli membayar dalam rupiah dan tidak dalam dolar). Jika yang pertama benar, maka penjual dolar (pemberi pinjaman) menerima pengembalian sepuluh persen yang telah ditentukan sebelumnya ketika dia mengubah Rs1100 yang diterima pada tanggal jatuh tempo menjadi 55 (dengan kurs 1:20). Namun, jika yang terakhir itu benar, maka kembali ke penjual (atau pemberi pinjaman) tidak ditentukan sebelumnya. Itu bahkan tidak perlu menjadi positif. Misalnya, jika nilai tukar rupee-dollar meningkat menjadi 1:25, maka penjual dolar hanya akan menerima 44 (Rs 1100 dikonversi menjadi dolar) untuk investasinya sebesar 50. Berikut dua poin yang perlu diperhatikan. Pertama, ketika seseorang mengasumsikan rezim nilai tukar tetap, perbedaan antara mata uang dari berbagai negara terdilusi. Situasi menjadi serupa dengan bertukar pound dengan sterlings (mata uang milik negara yang sama) pada tingkat bunga tetap. Kedua, ketika seseorang mengasumsikan sistem nilai tukar yang mudah berubah, maka hanya karena seseorang dapat memvisualisasikan pinjaman melalui pasar mata uang asing (mekanisme yang disarankan dalam contoh di atas), seseorang juga dapat memvisualisasikan pemberian pinjaman melalui pasar terorganisir lainnya (seperti komoditas atau saham .) Jika seseorang mengganti dolar untuk saham dalam contoh di atas, maka akan dibaca sebagai berikut: Pada saat tertentu ketika harga pasar saham X adalah Rs 20, jika seseorang membeli 50 saham dengan harga Rs 22 (penyelesaian Kewajibannya dalam rupee ditangguhkan ke masa depan), maka sangat mungkin dia. Sebenarnya, meminjam Rs. 1000 sekarang sebagai pengganti janji untuk membayar Rs. 1100 pada tanggal yang ditentukan nanti. (Karena, dia bisa mendapatkan Rs 1000 sekarang, menukar 50 saham yang dibeli secara kredit dengan harga berlaku) Dalam kasus ini juga seperti pada contoh sebelumnya, kembali ke penjual saham mungkin negatif jika harga saham naik menjadi Rs 25 pada penyelesaian tanggal. Hence, just as returns in the stock market or commodity market are Islamically acceptable because of the price risk, so are returns in the currency market because of fluctuations in the prices of currencies. A unique feature of thaman haqiqi or gold and silver is that the intrinsic worth of the currency is equal to its face value. Thus, the question of different geographical boundaries within which a given currency, such as, dinar or dirham circulates, is completely irrelevant. Gold is gold whether in country A or country B. Thus, when currency of country A made of gold is exchanged for currency of country B, also made of gold, then any deviation of the exchange rate from unity or deferment of settlement by either party cannot be permitted as it would clearly involve riba al-fadl and also riba al-nasia. However, when paper currencies of country A is exchanged for paper currency of country B, the case may be entirely different. The price risk (exchange rate risk), if positive, would eliminate any possibility of riba al-nasia in the exchange with deferred settlement. However, if price risk (exchange rate risk) is zero, then such exchange could be a source of riba al-nasia if deferred settlement is permitted7. Another point that merits serious consideration is the possibility that certain currencies may possess thamaniyya, that is, used as a medium of exchange, unit of account, or store of value globally, within the domestic as well as foreign countries. For instance, US dollar is legal tender within US it is also acceptable as a medium of exchange or unit of account for a large volume of transactions across the globe. Thus, this specific currency may be said to possesses thamaniyya globally, in which case, jurists may impose the relevant injunctions on exchanges involving this specific currency to prevent riba al-nasia. The fact is that when a currency possesses thamaniyya globally, then economic units using this global currency as the medium of exchange, unit of account or store of value may not be concerned about risk arising from volatility of inter-country exchange rates. At the same time, it should be recognized that a large majority of currencies do not perform the functions of money except within their national boundaries where these are legal tender. Riba and risk cannot coexist in the same contract. The former connotes a possibility of returns with zero risk and cannot be earned through a market with positive price risk. As has been discussed above, the possibility of riba al-fadl or riba al-nasia may arise in exchange when gold or silver function as thaman or when the exchange involves paper currencies belonging to the same country or when the exchange involves currencies of different countries following a fixed exchange rate system. The last possibility is perhaps unIslamic8 since price or exchange rate of currencies should be allowed to fluctuate freely in line with changes in demand and supply and also because prices should reflect the intrinsic worth or purchasing power of currencies. The foreign currency markets of today are characterised by volatile exchange rates. The gains or losses made on any transaction in currencies of different countries, are justified by the risk borne by the parties to the contract. 2.1.4. Possibility of Riba with Futures and Forwards So far, we have discussed views on the permissibility of bai salam in currencies, that is, when the obligation of only one of the parties to the exchange is deferred. What are the views of scholars on deferment of obligations of both parties. Typical example of such contracts are forwards and futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar 3.1 Defining Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exc hange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party - whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract - speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Send Your Comments to: Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, India Jika Anda merasa tulisan di atas berguna, luangkan waktu barang 5 menit untuk menyebarkannya. Terima kasih. Dulu awalnya sebelum tahu hal ini emang sempat bingung juga apakah emang halal atau tidak. Tapi setelah baca daribeberapa sumber seperti forum forex dan blog sperti ini memang cukup membantu jadi membuat saya tau apakah trading di forex itu halal atau tidak. Untuk trading pun juga saya sendiri menggunakan akun free swap dari OctaFx. Katanya yang bikin haram itu karena swap ini juga. Dan saya sendiri juga nggak tau swap ini dihitung dari mana, berdasarkan apa. Mudah-mudah sukses dalam bertrading dan semakin yakin dan paham tentang forex. dengan berbagai kondisi trading yang ditawarkan OctaFX terutama pada akun Micro yang saya gunakan memang terdapat fasilitas free swap, hal ini semakin membuat saya lega dan leluasa dalam menjalankan kegiatan trading yang saya lakukan. OctaFX benar-benar memberikan pelayanan dan fasilitas yang memberikan kenyamanan dan keleluasaan dalam trading terutama bagi muslim yang harus mengikuti aturan-aturan yang dibenarkan dalam hal fiqih muamalah.

No comments:

Post a Comment